Aceh Tamiang – Dana Desa merupakan bagian dari keuangan negara yang penggunaannya diikat oleh waktu dan tata cara yang ketat. Maka ketika dana yang bersumber dari APBN tahun 2024 baru dibelanjakan pada pertengahan 2025 tanpa prosedur SILPA, pertanyaannya menjadi terang: apakah ini hanya kekeliruan administratif, atau sebuah penyimpangan yang disengaja.
Informasi yang diperoleh menyebutkan, ada satu desa di Kecamatan Bendahara yang melaksanakan pembangunan talud sepanjang 26 meter, bersumber dari Dana Desa tahun 2024, namun realisasinya baru dilakukan pada pertengahan 2025. Padahal, secara aturan, anggaran yang tidak terserap hingga 31 Desember seharusnya dimasukkan ke dalam Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA), dan penggunaannya hanya bisa dilakukan setelah melalui mekanisme penganggaran ulang.
Lebih menarik lagi, pejabat kampung yang bertanggung jawab atas proyek tersebut menyebut bahwa dirinya telah meminta izin kepada Camat dan juga mengaku telah berkoordinasi dengan pihak Inspektorat. Meskipun klaim tersebut belum dapat dibuktikan melalui dokumen resmi, tetap saja penting untuk ditelusuri lebih jauh. Sebab, jika benar ada izin secara lisan dari dua institusi pengawas tersebut, maka patut dipertanyakan: apakah ini bentuk pembiaran terhadap pelanggaran prosedur keuangan negara?.
Jika dugaan pembiaran ini terbukti, maka bukan hanya pengelola kampung yang perlu diproses, tapi juga perlu dilakukan audit terhadap peran institusi pengawas itu sendiri, baik di level kecamatan maupun di lingkungan Inspektorat Kabupaten. Sebaliknya, jika tidak ada izin yang dimaksud, maka perlu diperiksa kemungkinan manipulasi narasi atau penyalahgunaan nama lembaga untuk membenarkan tindakan yang melanggar aturan.
Hal ini mempertegas bahwa persoalan bukan lagi pada proyek talud semata, melainkan pada mekanisme pengawasan yang longgar, celah koordinasi antarlembaga, dan lemahnya akuntabilitas publik di tingkat desa.
Apalagi, informasi di lapangan menyebutkan bahwa pembangunan proyek tersebut baru dilakukan setelah mendapat sorotan dan pertanyaan dari masyarakat. Ini menunjukkan bahwa peran kontrol publik masih menjadi elemen terpenting dalam mendorong transparansi di tingkat kampung. Namun, apakah semua desa harus menunggu tekanan publik terlebih dahulu agar anggaran direalisasikan sebagaimana mestinya.
Meski nilai proyek ini mungkin dianggap kecil dalam skala anggaran nasional, justru di situlah letak tantangannya. Skala kecil kerap dianggap remeh, padahal prinsip akuntabilitas tak mengenal jumlah. Yang dipertaruhkan adalah integritas tata kelola dan kepercayaan publik — dan itulah yang tidak boleh dinilai murah.
Kini, persoalan ini semestinya menjadi perhatian serius bagi para pihak yang memiliki kewenangan pengawasan dan penegakan akuntabilitas anggaran publik. Meskipun proyek akhirnya dikerjakan, bukan berarti kesalahan prosedural hilang begitu saja. Dalam hukum, niat baik tidak menghapus tanggung jawab administratif,apalagi jika menyangkut penggunaan uang negara.
Sudah saatnya ada penegasan dan penertiban terhadap tata kelola Dana Desa. Tidak cukup dengan pembenaran lisan, tidak bisa hanya berdasarkan“sudahdikerjakan”.Yang dibutuhkan adalahtransparansi,akuntabilitas,dan keberanian untuk menyelidiki jika sistem mulai kehilangan rem-nya.
Sementara itu datok kampung setempat memberikan klarifikasinya di salah satu media online membeberkan terkait pembangunan ADD tahun 2024 di bangun pada tahun 2025.
Selain itu Datok kampung setempat menyampaikan Klarifikasinya di salah satu media online bahwa adanya keterlibatan insfektorat Aceh Tamiang terkait memantau pelaksanaan proyek pembangunan talut di kampung Senebok Dalam Mesjid.
Iya juga menyampaikan adanya temuan di kegiatan pembangunan Talut kampung senebok dalam Sebesar Rp.414.298.00,-.
Publik Mendesak adanya Klarifikasi lebih lanjut terkait pembangunan Talut di anggaran tahun 2024 namun di bangun tahun 2025.
KALI DIBACA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar