Akademisi Unaya Apresiasi Langkah Wali Kota Banda Aceh Soal Penegakan Syariat Islam - WARTA GLOBAL ACEH

Mobile Menu

P E N D I D I K A N

Whatshop - Tema WhatsApp Toko Online Store Blogger Template

Pendaftaran

Klik

More News

logoblog

Akademisi Unaya Apresiasi Langkah Wali Kota Banda Aceh Soal Penegakan Syariat Islam

Sabtu, 19 April 2025
Banda Aceh — Gebrakan dan upaya Wali Kota Banda Aceh, Illiza Sa'aduddin Djamal, dalam menegakkan syariat Islam mendapat respons positif dari berbagai kalangan. Salah satunya datang dari akademisi Fakultas Hukum Universitas Abulyatama, Dr. Jummaidi Saputra, S.H., M.H., CPM. Ia mengapresiasi langkah Illiza yang turun langsung melakukan razia di hotel dan tempat hiburan di Banda Aceh, serta menjaring sejumlah pelaku jarimah seperti mesum, khalwat, khamar, prostitusi, hingga narkoba.

"Gebrakan ini memang sudah lama dinantikan sejak pelantikan Illiza sebagai Wali Kota Banda Aceh. Tindakan ini memberikan dampak besar bagi penegakan syariat Islam di Aceh, menghidupkan kembali marwah syariat, dan meningkatkan kepercayaan diri para aparat penegak hukum, khususnya di bidang syariat Islam. Ini adalah aksi yang sangat patut untuk diapresiasi," ujar Dr. Jummaidi, dalam keterangannya, Sabtu, 19 April 2025.

Menurutnya, penegakan syariat Islam juga harus didukung penuh oleh kepala daerah. Dalam konteks penegakan hukum, pemerintah memiliki kekuasaan untuk memastikan hukum terlaksana dengan efektif.

"Mungkin kita pernah mendengar adagium: 'Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, sedangkan kekuasaan tanpa hukum adalah anarki.' Dalam pelaksanaannya, hukum tidak dapat dijalankan tanpa kekuasaan yang memaksa," jelasnya.

Jummaidi menjelaskan, secara yuridis, dasar hukum penerapan syariat Islam dan Qanun Jinayat di Aceh sangat kuat. Di antaranya, Pasal 3 ayat (2) UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, yang menyatakan bahwa salah satu keistimewaan Aceh adalah dalam penyelenggaraan kehidupan beragama. Begitu pula dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Pasal 125 ayat (1) menyebutkan bahwa syariat Islam yang dilaksanakan di Aceh mencakup akidah, syariah, dan akhlak, yang kemudian diperkuat dengan qanun sebagai aturan pelaksanaannya.

Sedangkan secara historis, sambungnya, Aceh juga memiliki jejak kuat dalam penegakan hukum, seperti pada masa Sultan Iskandar Muda yang menghukum mati putranya, Meurah Pupok, karena melanggar hukum. Ini menunjukkan penegakan hukum tanpa pandang bulu dan integritas kepemimpinan.

Dari kedua aspek tersebut, semua pihak harus objektif dalam menilai bahwa langkah Wali Kota Banda Aceh ini patut didukung agar masyarakat tidak menganggap syariat Islam hanya simbol. Apalagi sebagai ibu kota provinsi, Banda Aceh harus menjadi cerminan pelaksanaan syariat Islam secara menyeluruh.

Ia menambahkan, dari hasil penegakan syariat Islam, mayoritas pelanggar adalah remaja. Ini mencerminkan kondisi moral generasi muda yang memprihatinkan dan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Sehingga, penegakan syariat tidak cukup hanya sebatas penangkapan, tetapi juga harus dilanjutkan hingga tahap pemberian sanksi. Selain itu, Wali Kota perlu tegas mencabut izin usaha yang menjadi tempat terjadinya pelanggaran syariat.

"Selama masih ada fasilitas, pelanggaran akan terus terjadi. Badan usaha juga dapat dijatuhi hukuman sesuai Qanun No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, baik berupa cambuk, denda, atau penjara. Pada pasal 33 ayat (3) qanun tersebut mengatur sanksi bagi setiap orang atau badan usaha yang dengan sengaja menyediakan fasilitas atau mempromosikan jarimah zina, dihukum maksimal 100 kali cambuk, denda hingga 1.000 gram emas, dan/atau penjara 100 bulan. Namun, saat ini kita jarang melihat sanksi itu diterapkan kepada badan usaha. Maka perlu keterlibatan semua pihak, bukan hanya wali kota," tegasnya.

Mengutip Lawrence M. Friedman, Jummaidi menyebut ada tiga komponen utama dalam bekerja atau tidaknya hukum, yaitu struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum. Ia juga menilai Banda Aceh kini dalam kondisi darurat pelanggaran syariat, termasuk praktik open BO dan jarimah liwath (LGBT). Kasus LGBT sendiri menjadi salah satu penyumbang utama HIV/AIDS di Banda Aceh. Data Dinas Kesehatan menyebutkan, sudah ada 530 kasus HIV/AIDS yang sebagian besar akibat perilaku LGBT.

Berdasarkan data itu, pentingnya dilakukan penegakan hukum yang dibarengi dengan pendekatan preventif seperti edukasi di sekolah-sekolah, program perbaikan akhlak, dan penutupan tempat-tempat yang rawan pelanggaran.

"Pemerintah juga perlu membentuk tempat pembinaan moral bagi pelanggar syariat agar tidak mengulangi kesalahan mereka. Banyak yang kembali melanggar karena ketidaktahuan atau faktor ekonomi," kata Jummaidi lagi.

Terakhir, ia menegaskan bahwa keberanian Wali Kota Illiza harus didukung sepenuhnya oleh semua pihak. Meski banyak tantangan, aksi Illiza ini adalah langkah awal untuk mengangkat kembali marwah penegakan syariat Islam, khususnya Qanun Jinayat di Aceh.

KALI DIBACA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar