Perdamaian Aceh: Halim Abe Usulkan Tinjauan MoU Helsinki. - WARTA GLOBAL ACEH

Mobile Menu

P E N D I D I K A N

Whatshop - Tema WhatsApp Toko Online Store Blogger Template

Pendaftaran

Klik

More News

logoblog

Perdamaian Aceh: Halim Abe Usulkan Tinjauan MoU Helsinki.

Rabu, 07 Mei 2025

Aceh - ‎Juru Bicara Komite Peralihan Aceh (KPA) Wilayah Pase, Halim Abe, menyoroti adanya penyimpangan terstruktur dan sistematis oleh pemerintah pusat terhadap poin-poin MoU Helsinki, khususnya dalam kebijakan politik, hukum, dan keamanan. 
‎Halim juga mengungkapkan bahwa kesepakatan damai yang seharusnya menjadi pintu menuju kesejahteraan rakyat Aceh justru menjadi sumber ketegangan baru.

‎‎Dalam pernyataannya pada Selasa (6/5/2025), Halim Abe menegaskan bahwa MoU Helsinki, yang ditanda tangani oleh GAM dan RI, merupakan cara terbaik untuk mewujudkan kedaulatan hukum, politik, dan keamanan di Aceh pasca-konflik. 
‎“Pada hakikatnya, penandatanganan nota kesepahaman itu adalah komitmen bersama untuk perdamaian yang sejati, yang akan membawa kesejahteraan bagi rakyat Aceh,” ujar Halim. Ia menambahkan bahwa kedua pihak sepakat perdamaian hanya dapat tercapai dengan melaksanakan butir-butir kesepakatan yang telah dirumuskan di meja perundingan Helsinki.
‎Namun, Halim menyoroti bahwa hingga kini, setelah hampir dua dekade berlalu, implementasi MoU Helsinki justru menjadi polemik yang terus berulang. Menurutnya, penyimpangan terhadap poin-poin MoU, terutama dalam kebijakan politik, hukum, dan keamanan di Aceh, menjadi pemicu ketidakpercayaan dan membangkitkan trauma masa lalu rakyat Aceh.
‎“Penyimpangan ini terkesan dilakukan secara terstruktur dan sistematis oleh pemerintah pusat,” tegasnya. Ia menggunakan analogi dalam bahasa Aceh, “Watee di laot sapeu pakat, ban troh u darat laen keunira,” yang artinya apa yang disepakati di laut (Helsinki) ternyata berbeda ketika sampai di darat (implementasi di Aceh).
‎Halim mempertanyakan pihak mana yang sebenarnya berkhianat dalam kesepakatan ini. 
‎Pernyataan ini sejalan dengan sentimen yang telah lama mengemuka di kalangan masyarakat Aceh, termasuk desakan dari berbagai pihak seperti Wali Nanggroe, politikus, LSM, dan organisasi HAM, yang menilai pemerintah pusat belum sepenuhnya merealisasi butir-butir MoU Helsinki. 
‎Salah satu isu yang kerap mencuat adalah belum terbentuknya Pengadilan HAM untuk Aceh dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang memadai, sebagaimana diatur dalam MoU, untuk menangani pelanggaran HAM berat selama konflik 1976-2005.
‎Polemik ini juga diperparah dengan rencana penambahan empat batalyon TNI di Aceh, yang menuai penolakan keras karena dianggap melanggar MoU Helsinki. 
‎Padahal, MoU tersebut membatasi kehadiran personel TNI organik di Aceh hanya 14.700 orang sebagai bagian dari pengaturan keamanan pasca-konflik. 
‎Sebaliknya, pandangan berbeda disampaikan Rektor Universitas Malikussaleh, Herman Fithra, yang melihat kehadiran TNI sebagai peluang untuk optimalisasi lahan tidur dan program pembangunan nasional di Aceh.
‎Menurut Halim Abe, Komitmen damai bukan hanya sebatas perut dan lahan tidur, Sungguh naif mengangkat senjata kalau tujuannya hanya sebatas memperjuangkan perut seperti pola pikir Rektor dan dekan Universitas malikussaleh.

"Miris rasanya, meski usia perdamaian telah berjalan hampir 20 tahun, tetapi masih diwarnai kerancuan cara pandang dari beberapa kalangan dalam melihat akar persoalan Aceh, Sehingga munculnya beberapa perspektif liar menjadi tantangan tersendiri dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat Aceh yang diperjuangkan dengan darah dan airmata, Ujar Halim
Halim Abe menambahkan "Kita berharap, polemik ini harus menjadi energi positif dan motivasi bagi kedua belah pihak untuk membingkai ulang tujuan sebenarnya dari kesepakatan damai, Sehingga pengkhianatan-pengkhianatan yang pernah dirasakan rakyat Aceh tidak berulang dimasa yang akan datang"

‎Pernyataan Halim tentang "pengkhianatan” menjadi cermin bagi semua pihak untuk kembali berkaca pada komitmen damai yang pernah disepakati di Helsinki.

KALI DIBACA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar