Aceh – Seluruh penjuru negeri larut dalam perayaan Hari Kartini pada 21 April Poster-poster bertema emansipasi perempuan bertebaran di media sosial, kantor pemerintahan, hingga sekolah-sekolah. Semangat perjuangan Kartini dikutip ulang dalam pidato-pidato formal yang sayangnya lebih banyak bersifat simbolik. Namun di tengah euforia tersebut, sebuah kenyataan pahit menyelinap: kita seolah lupa pada pahlawan perempuan dari Aceh, para pejuang yang tak kalah berjasa dan layak dikenang dengan kebanggaan yang sama.
Siapa yang masih ingat pada Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Mutia, atau Laksamana Keumalahayati? Nama-nama ini dulu menggetarkan barisan musuh dan menjadi simbol keberanian perempuan di medan perang. Mereka bukan hanya bagian dari sejarah Aceh, tetapi juga bagian dari sejarah besar bangsa ini. Namun mengapa nama mereka begitu sunyi setiap kali bangsa ini memperingati perjuangan perempuan?
Yang lebih menyedihkan, sikap diam pemerintah Aceh seolah ikut melanggengkan lupa ini. Tidak ada peringatan hari lahir, tidak ada gerakan budaya, tidak ada narasi yang mengangkat mereka ke permukaan. Cut Nyak Dhien lahir pada 12 Mei 1848, Cut Nyak Mutia pada 15 Februari 1870, dan Keumalahayati pada 1 Januari 1550. Semua ini tercatat dalam sejarah, namun jarang kita melihat atau mendengar upaya konkret untuk mengabadikan tanggal-tanggal tersebut dalam bentuk penghormatan yang layak.
Apakah nilai sejarah dan identitas Aceh sedemikian remeh di mata penguasa? Apakah para pemangku kebijakan terlalu sibuk mengejar ambisi pribadi hingga lupa pada darah dan air mata yang pernah tertumpah untuk mempertahankan tanah ini?
Mengangkat kembali nama-nama pahlawan perempuan Aceh bukanlah tindakan yang berlebihan, melainkan langkah penting untuk menjaga identitas dan harga diri daerah ini. Perjuangan mereka adalah pondasi dari kebebasan yang kita nikmati hari ini, dan melupakan mereka adalah bentuk pengkhianatan terhadap sejarah kita sendiri.
Kita tidak menolak peringatan Hari Kartini. Tapi keadilan sejarah menuntut agar penghargaan yang sama diberikan kepada pahlawan perempuan lain dari seluruh pelosok negeri. Perjuangan bukan milik satu nama saja, dan emansipasi bukan monopoli satu tokoh saja.
Kini saatnya masyarakat Aceh bangkit. Kita tidak bisa terus menunggu uluran tangan pemerintah yang tak kunjung datang. Mari galang kesadaran bersama, mulai dari sekolah, komunitas, hingga media lokal. Mari tuntut pengakuan yang layak atas jasa pahlawan kita. Karena bangsa yang besar bukan hanya bangsa yang mengenang pahlawannya—tetapi juga bangsa yang tidak membiarkan sebagian dari mereka terlupakan.
KALI DIBACA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar