
Aceh Tamiang – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menguak dugaan kebocoran APBK Kabupaten Aceh Tamiang. Ini termuat dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK atas Kepatuhan Pemerintah Aceh Tamiang Terhadap Peraturan Perundang-undangan tahun 2024.
Peraturan Bupati (Perbup) tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten (APBK) Aceh Tamiang tahun 2024 adalah Perbup Nomor 1 Tahun 2024 dan Perbup Nomor 6 Tahun 2024, yang merupakan perubahan dari Perbup sebelumnya.
Perbup ini mengatur tentang penjabaran APBK, termasuk pendapatan, belanja, dan pembiayaan daerah.
BPK menemukan adanya kelebihan pembayaran tunjangan untuk pimpinan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) senilai total Rp1.602.930.000.
Dugaan Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang sengaja mempertahankan klasifikasi Kemampuan Keuangan Daerah (KKD) dalam kategori Sedang, padahal data ril menunjukkan bahwa status keuangan daerah sudah turun menjadi Rendah sejak dua tahun sebelumnya.
Akibatnya, pembayaran berbagai tunjangan dan dana operasional untuk pimpinan dan anggota DPRK dilakukan melebihi batas yang ditentukan oleh undang-undang.
APBK 2024 Aceh Tamiang audit BPK RI dan ditemukan angka-angka siluman dugaan mengangkangi Peraturan sebesar Rp1,6 Miliar, inspektorat dan ketua TAPK serta Bupati tidak mengetahui tentang posisi keuangan daerah atau klasifikasi KKD tahun-tahun sebelumnya.
Pada pasal berapa pada UU Nomor 11 Tahun 2006 dan UU Nomor 23 Tahun 2014 serta UU lainnya serta regulasi-regulasi lainnya disebutkan TAPK, Inspektorat dan bupati wajib kasih tau tentang KKD. Terus ketika pembahasan kok tidak kalian tanya tentang KKD dan SBU yang berlaku?.
Diketahui, pada tahun 2024, Pemkab Aceh Tamiang merealisasikan belanja pegawai sebesar Rp531 miliar. Dari jumlah tersebut, lebih dari Rp12,7 miliar digunakan untuk membayar gaji dan tunjangan DPRK, masing-masing, Tunjangan Komunikasi Intensif (TKI), Tunjangan Reses, dan Dana Operasional (DO).
Namun hasil audit BPK menunjukkan bahwa klasifikasi kemampuan keuangan daerah — yang menjadi dasar penentuan besaran tunjangan —tidak pernah diperbarui sejak tahun 2017. Pemkab tetap menggunakan kategori Sedang, padahal bila mengacu pada aturan dan data realisasi APBD 2022, posisi keuangan daerah sudah tergolong Rendah."
"Penggunaan klasifikasi lama ini menjadi dasar pembayaran tunjangan yang jauh lebih tinggi dari seharusnya.
Jika kategori Rendah digunakan, besaran tunjangan wajib diturunkan tapi itu tidak dilakukan.
Peraturan Bupati Nomor 1 tahun 2024 dan Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 6 Tahun 2024 yang merupakan perubahan atas Perbup Nomor 1 Tahun 2024, terkait penjabaran APBK Aceh Tamiang tahun anggaran 2024 .
Padahal Peraturan Perbup tersebut mencakup berbagai aspek terkait pengelolaan keuangan daerah, termasuk pendapatan, belanja, dan pembiayaan daerah.
Perbup Nomor 1 Tahun 2024 mulai berlaku pada tanggal 9 Januari 2024, sedangkan Perbup Nomor 6 Tahun 2024 mulai berlaku pada tanggal 1 April 2024.
Padahal Perbup tersebut bertujuan untuk mengatur dan menjabarkan APBK sehingga pengelolaan keuangan daerah dapat berjalan transparan dan akuntabel.
Dugaan Unsur Kesengajaan
Dari hasil pemeriksaan, terungkap bahwa Tim Anggaran Pemerintah Kabupaten (TAPK) tidak melakukan perhitungan KKD sebagaimana diwajibkan oleh peraturan. Ketua TAPK bahkan mengakui bahwa pihaknya hanya memberikan saran agar penganggaran tidak menyebabkan defisit, tanpa menghitung ulang klasifikasi kemampuan keuangan daerah.
Padahal, aturan jelas menyebutkan bahwa penghitungan KKD wajib dilakukan setiap tahun, dan data yang digunakan adalah realisasi APBD dua tahun sebelumnya.
Kealpaan ini tergambar cukup sistematis dan berlangsung terlalu lama untuk dianggap sekadar kelalaian administratif. Karena itu, tidak menutup kemungkinan adanya unsur kesengajaan dalam keputusan mempertahankan klasifikasi Sedang, karena manfaat finansial dari keputusan tersebut sangat jelas: besaran tunjangan yang diterima oleh pimpinan dan anggota DPRK menjadi lebih besar.
Dugaan mengangkangi peraturan secara terstruktur, sistematis dan masif yang berlangsung cukup lama.sistematis untuk mempertahankan klasifikasi Sedang, karena manfaat finansial dari keputusan tersebut sangat jelas: besaran tunjangan yang diterima oleh pimpinan dan anggota DPRK menjadi lebih besar.
Diketahui, mempertahankan klasifikasi KKD yang menguntungkan tanpa dasar hukum tentu saja berpotensi melanggar prinsip tata kelola keuangan yang transparan dan akuntabel.
Tindakan ini mempertahankan klasifikasi KKD yang menguntungkan tanpa dasar hukum berpotensi melanggar prinsip tata kelola keuangan yang transparan dan akuntabel.
BPK menjelaskan, kondisi tersebut setidaknya tidak sesuai dengan PP Nomor 18 Tahun 2017 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 1 Tahun 2023 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 62 Tahun 2017 Tentang Pengelompokan Kemampuan Keuangan Daerah Serta Pelaksanaan Dan Pertanggungjawaban Dana Operasional.
Hasil audit BPK menunjukkan bahwa klasifikasi kemampuan keuangan daerah yang menjadi parameter dasar penentuan besaran tunjangan.Tetapi idak pernah diperbarui sejak tahun 2017. Pemkab tetap menggunakan kategori Sedang, padahal bila mengacu pada aturan dan data realisasi APBD 2022, posisi keuangan daerah sudah tergolong Rendah.
Penggunaan klasifikasi lama ini menjadi dasar pembayaran tunjangan yang jauh lebih tinggi dari seharusnya. Jika kategori Rendah digunakan, besaran tunjangan wajib diturunkan, namun hal itu tidak dilakukan ketika pembahasan anggaran di DPRK Aceh Tamiang.
Diketahui Padahal, aturan jelas menyebutkan bahwa penghitungan KKD wajib dilakukan setiap tahun, dan data yang digunakan adalah realisasi APBD dua tahun sebelumnya.
Kerugian Negara Rp1,6 Miliar Lebih
Berikut adalah rincian kerugian akibat kelebihan pembayaran berdasarkan klasifikasi yang tidak sesuai:
Tunjangan Komunikasi Intensif
Dibayar: Rp3,26 miliar (kategori Sedang)
Seharusnya: Rp1,95 miliar (kategori Rendah)
Kelebihan: Rp1,3 miliar
Tunjangan Reses
Dibayar: Rp565 juta
Seharusnya: Rp339 juta
Kelebihan: Rp226 juta
Dana Operasional Pimpinan DPRK
Dibayar: Rp159 juta
Seharusnya: Rp88 juta
Kelebihan: Rp71 juta
Menyikapi temuan tersebut, Sekretaris DPRK menyatakan sependapat dengan hasil pemeriksaan dan berkomitmen menindaklanjuti rekomendasi BPK.
BPK sendiri meminta agar Bupati Aceh Tamiang memerintahkan Sekretaris DPRK selaku Pengguna Anggaran untuk memproses kelebihan pembayaran Rp1.602.930.000 dan menyetorkannya kembali ke kas daerah."
Jika uang sebesar Rp1. 602.939.000 tidak segera dikembalikan ke Kas Negara tidak menutup kemungkinan BPK RI Secara sistematis akan melimpahkan kasus ini kepada Aparat Penegak Hukum(APH) untuk dilakukan projusditia berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2001 perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor yang merupakan manifestasi dari UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari KKN.
KALI DIBACA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar