Diduga Ada "Penumpang Gelap" Di APBK 2025 - WARTA GLOBAL ACEH

Mobile Menu

P E N D I D I K A N

Whatshop - Tema WhatsApp Toko Online Store Blogger Template

Pendaftaran

Klik

More News

logoblog

Diduga Ada "Penumpang Gelap" Di APBK 2025

Kamis, 09 Januari 2025



Aceh Tamiang – pembahasan Anggaran 2025 punya banyak cerita, tak terkecuali soal para anggota dewan terpilih  memilih  dan bertarung di anggaran APBK tahun 2025 . Fenomena ini bisa sebuah pertaruhan. Jika gagal banyak yang di korbankan, mereka dipastikan tak mendapatkan apa –apa.

Ragam cerita mewarnai APBK 2025. Tak hanya soal tarik ulur kepentingan politik, tapi juga soal fenomena Aksi main Tunggal justru Terhadap beberapa Anggota DPRK kembali bertaruh di pembahasan Anggaran 2025.

Di Aceh Tamiang misalnya, ada penumpang gelap. Mereka sejatinya sudah mendapatkan anggaran lebih di APBK pada pembahasan tahun 2025.


Keputusan ini tentu jadi sebuah pertaruhan. Pasalnya, caleg terpilih ini mendapat anggaran lebih kemungkinan terkait hubungan emosional di eksekutif. 



 Konflik antara legislatif dan eksekutif bisa terjadi karena kurangnya komunikasi antara kedua lembaga tersebut. Konflik ini juga bisa berupa konflik kepentingan antar partai. 


 konflik Kurangnya komunikasi antara legislatif dan eksekutif, Intervensi eksekutif terhadap legislatif, Konflik kepentingan antar partai. 

 konflik 
  •  hukum yang dihasilkan legislatif bersifat konservatif atau ortodok
  • Warga negara khawatir akan terjadi tirani kekuasaan
Solusi konflik 
  •  komunikasi antara legislatif dan eksekutif.
  • Memperkuat peran Badan Kehormatan Dewan (BKD) dalam mengawasi konflik kepentingan.
  • Menegakkan etika mengenai konflik kepentingan.
  • Mempertimbangkan kepemilikan bisnis saat menempatkan anggota legislatif di komisi.
Legislatif dan eksekutif merupakan instrumen untuk melanjutkan pemerintahan yang baik.


tentang kisruh yang terjadi di Kabupaten Aceh Tamiang, sedikit banyak memberikan gambaran tentang kompleksitas pengelolaan anggaran di wilayah tersebut. Dalam berita tersebut, isu dugaan “penumpang gelap” dalam anggaran Tahun 2025 mencuat, menyoroti adanya tambahan anggaran yang diduga diperoleh tanpa melalui mekanisme resmi di Badan Anggaran(Banggar).

Isu ini menimbulkan pertanyaan mendasar, bagaimana mungkin tambahan anggaran bernilai miliaran rupiah dapat disahkan tanpa pembahasan formal? Prosedur yang seharusnya memastikan transparansi dan akuntabilitas, justru diduga diabaikan demi keuntungan segelintir pihak.


Dalam tata kelola pemerintahan, pembahasan anggaran tidak hanya soal teknis, tetapi menyangkut kepercayaan publik terhadap wakil mereka di legislatif. Ketika mekanisme formal tidak dijalankan sebagaimana mestinya, risiko penyalahgunaan dana publik menjadi nyata, dan masyarakat sebagai pemilik anggaran menjadi pihak yang dirugikan.

Dugaan ini, jika terbukti, menunjukkan kelemahan serius dalam pengawasan internal DPRK. Banggar, yang seharusnya menjadi filter pertama untuk memastikan semua pengajuan anggaran berjalan sesuai aturan, tampaknya tidak berfungsi maksimal. Akibatnya, praktik yang melanggar etika pemerintahan pun bisa terjadi.


Kisruh ini seharusnya menjadi pelajaran bagi Kedua belah Pihak. Tanpa reformasi sistem pengelolaan anggaran dan pengawasan yang lebih ketat, masalah serupa dapat terulang di masa depan. Para pemangku kebijakan harus menjadikan transparansi sebagai prioritas utama, agar kepercayaan publik yang mulai terkikis dapat dipulihkan.

Harusnya Masyarakat Aceh Tamiang layak mendapatkan kejelasan atas apa yang sebenarnya terjadi. Tidak cukup hanya sekadar membahas ini di ruang tertutup. Para pejabat harus berani membuka fakta kepada publik, menjelaskan apa yang telah terjadi, dan menunjukkan komitmen untuk memperbaiki sistem namun keharusan ini tidak di haruskan oleh pemerintah setempat.







KALI DIBACA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar