‘Political Attitude’ KSLHA Terhadap Pilkada Aceh 2024 - WARTA GLOBAL ACEH

Mobile Menu

P E N D I D I K A N

Whatshop - Tema WhatsApp Toko Online Store Blogger Template

Pendaftaran

Klik

More News

logoblog

‘Political Attitude’ KSLHA Terhadap Pilkada Aceh 2024

Rabu, 27 November 2024



BANDA ACEH – Koalisi Selamatkan Lahan dan Hutan Aceh (KSLHA): [Aceh Wetland Foundation; Aceh Movement Society; Yayasan APEL Green Aceh; Yayasan Hutan Hujan Aceh; LSM LembaHtari; LSM Generasi Beutong Ateuh Banggalang; Gayo Rimba Bersatu; LSM Harimau Pining; LSM Kesatuan Aneuk Nanggroe Aceh; LSM Balee Jurong; Komunitas Aceh Mangrove Youth dan Komunitas Pemuda Pejuang Tanah Rakyat] ‘mensulurkan’ Sikap Politik terhadap hasil pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Aceh tahun 2024.

Penekanannya; siapapun Gubernur Terpilih Harus Berpihak kepada Kepentingan Pribumi dan Lingkungan, bukan Pemodal!. 

Rabu, 27 November 2024 lalu masyarakat Aceh memilih pemimpin baru untuk Provinsi paling barat di wilayah Indonesia.

Provinsi Aceh, kaya sumber daya alamnya (SDA) dan sangat berlimpah. KSLHA akan mempengaruhi suaranya pada  arah pembangunan Aceh selama lima tahun ke depan. Apalagi KSLHA sudah menyaksikan pelaksanaan debat Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur Aceh periode 2025-2030 yang digelar beberapa waktu lalu. 

Kedua pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh menyatakan komitmen mereka menjaga hutan dan lingkungan, termasuk menolak ekonomi ekstraktif dan mengusung ekonomi berkelanjutan.

Kecuali itu; sikap kontradiksi dipertontonkan oleh kedua pasangan calon, di mana
kedua Paslon berjanji akan meningkatkan investasi di bidang sumber daya alam termasuk
tambang dan perkebunan kelapa sawit.

Seperti kita tahu, investasi di sektor pertambangan dan perkebunan kelapa sawit telah
menyebabkan terjadinya degradasi lahan dan hutan.

Deforestasi (penebangan hutan secara liar) besar-besaran terjadi di sejumlah wilayah hutan untuk perkebunan kelapa sawit. Saat
ini luas perkebunan kelapa sawit di Aceh mencapai 565,135 hektar.

Sedangkan 61.000 hektar lebih hutan rawa gambut Tripa-Babahrot telah dialih fungsi sebagai lahan perkebunan kelapa sawit. Dan saat ini sisa lahan gambut dengan fungsi lindung seluas 11.000 hektar sedang dibuka dan dikeringkan.

Demikian dijelaskan Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Hutan Lestari (LembAHtari) Sayed Zainal M, SH; Divisi Bidang Hukum KSLHA seperti dilansir wartawan. Kamis, 28 November 2024 di Banda Aceh. 

Lalu seluas 22.000 hektar hutan mangrove di pantai timur Aceh sudah dikuasai oleh konsesi perusahaan eksploitasi kayu arang. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh menilai; Pemerintah belum mampu
mengendalikan laju deforestasi yang rata-rata mencapai 14.527 hektar per tahun dalam kurun waktu 2015 hingga 2022. 

Bahkan deforestasi selama 8 tahun terakhir luas deforestasi
mencapai 130.743 hektar. Sedangkan kemampuan untuk reboisasi rata-rata hanya 785
hektar per tahun yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh.

Mengutip data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), jumlah izin usaha pertambangan (IUP) di Aceh mencapai 51 IUP pada tahun 2024, jauh meningkat daripada tahun 2023 hanya berjumlah 37 IUP. 


Jenis IUP ini dengan berbagai komoditas mineral dan batubara, dan mineral bukan logam dan mineral, seperti emas, bijih besi, trass, dan lain-lain.

Di Beutong Ateuh Banggalang, meski masyarakat menang atas tolak tambang, tapi masyarakat khawatir karena sampai saat ini Kementerian ESDM belum mengeluarkan Beutong dari zona tambang sesuai Permen ESDM tahun.

Terdapat berbagai permasalahan perizinan tambang di Aceh dimulai dari tumpang tindih perizinan dan kawasan hutan (hutan lindung), keterbukaan informasi perizinan, dan lemahnya partisipasi dan pengawasan masyarakat terhadap kegiatan pertambangan. Dan yang paling mengkhawatirkan adalah Aceh akan berpotensi menuju darurat bencana ekologi.


Sebutnya BPS Aceh merilis Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Aceh pada tahun 2024 adalah 75,36 atau Aceh berada di posisi ke-5 dalam daftar provinsi dengan SDM terbaik di Sumatera.

Namun di sisi lain, sampai tahun 2024, Aceh masih menempati provinsi termiskin di Sumatera. Data resmi Pemerintah Aceh menunjukkan, pada bulan Maret 2024 persentase penduduk miskin di Aceh mencapai 14,23 % atau berjumlah 804.530 orang.

“Lantas kita pun bertanya, bagaimana bisa hasil kekayaan sumber daya alam Aceh ini
berdampak pada pertumbuhan ekonomi Aceh? Persoalan ini harus dijawab oleh Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh yang terpilih,” tanyanya. 

Kepala Pemerintah Aceh yang baru dipilih oleh rakyat ini harus mampu merealisasikan segala janji
kampanye untuk melindungi hutan, dan memberikan hak kelola kepada masyarakat lokal/adat.

Kata Sayed; Penolakan ekonomi ekstraktif ini tidak hanya sekedar basa basi politik. Sebab, kita butuh
pemimpin yang memiliki political will untuk melindungi sumber daya alam untuk kepentingan
masyarakat terutama masyarakat di sekitar hutan.

Untuk itu, kami menyatakan sikap sebagai berikut:

Pertama; Mendesak Pemerintah Indonesia untuk menghentikan arah politik dan kebijakan
yang liberal dan kapitalistik, serta mengembalikannya sesuai amanat konstitusi, sehingga keadilan, pemerataan dan kesejahteraan kembali terpusat pada rakyat.

Kedua; Menyerukan kepada seluruh rakyat Aceh untuk memposisikan proses pergantian
kekuasaan tahun 2024 tidak semata-mata memilih pemimpin, tetapi harus menjadi proses re-orientasi sistem pembangunan yang sesuai dengan mandat konstitusi: memuat hak Masyarakat Adat, Reforma Agraria Sejati, pemulihan alam, dan
penguatan demokratisasi.

Ketiga; Menyerukan Kepala Daerah Terpilih yang akan berkontestasi dalam Pilkada 2024,
harus berkomitmen untuk:

- Melindungi dan meningkatkan status perlindungan hutan dan lahan berbasismasyarakat adat/lokal.

- Melakukan secara benar dan serius agenda reforma agraria, keadilan iklim dan memberikan Hak Masyarakat Adat, sebagaimana yang telah diamanatkan oleh Undang-undang.

- Mengesahkan RUU Masyarakat Adat, RUU Reforma Agraria, RUU Keadilan Iklim, dan RUU lainnya yang berfokus pada kepentingan rakyat.

- Mencabut UU 6/2023 tentang Penetapan PERPPU Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, UU 3/2022 tentang IKN dan UU 41/1999 tentang Kehutanan.

- Meninjau kembali dan merevisi seluruh peraturan perundangan-undangan terkait Perkebunan, Pertanahan, Pertanian, Pangan, Pertambangan dan Energi, serta Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang berdampak buruk terhadap
Masyarakat Adat, petani, nelayan dan rakyat lainnya, untuk dikembalikan kepada mandat UUD 1945, TAP MPR IX/2001, UUPA 1960, putusan MK 3/2010, dan Putusan MK 35/2012.

- Menghentikan model pembangunan dan perjanjian internasional yang liberal yang berjalan dengan cara-cara yang menggusur hak-hak rakyat; melakukan monopoli dan perampasan tanah; melakukan kejahatan lingkungan hidup, serta menjalankan politik pertanian dan pangan yang mengamputasi posisi
petani, nelayan, petambak, peternak dan Masyarakat Adat sebagai produsen
pangan utama. 

- Mengeksekusi usulan-usulan lokasi prioritas reforma agraria (LPRA) dari organisasi rakyat dan serikat untuk menuntaskan masalah ketimpangan dan konflik struktural agraria yang berkaitan dengan hak atas tanah/izin/konsesi
masalah seperti HGU PTPN/klaim aset pemerintah, HGU swasta, HGU/ HGB terlantar, Perhutani/Inhutani, HTI, bisnis konservasi, PSN dan desa
transmigrasi. 


- Pemerintahan ke depan harus mengeluarkan keputusan politik untuk menghentikan proses hukum yang sedang berjalan, membebaskan yang sedang di penjara, dan memulihkan nama baik Masyarakat Adat, Petani,
Nelayan, Pejuang Lingkungan dan Agraria yang telah menjadi korban
kriminalisasi, termasuk yang sudah menjalani hukuman di masa lalu.

- Pemerintahan baru harus mencabut hak atas tanah dan perizinan usaha
yang diperoleh dengan cara merampas tanah rakyat dan menghancurkan lingkungan.

“Sikap kami [KSLHA] ini harus di masukan ke dalam arah kebijakan pembangunan terhadap Hutan dan Lingkungan yang berkelanjutan, baik di tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota di Aceh,” tegasnya mengakhiri. [].

KALI DIBACA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar